Densus Bukan Likuidasi Tapi Ganti Nama, Akal-Akalan Merengek Ke Amerika?

Bersuara Tentang Ustadz Abu Bakar Baasyir, Mari Lawan Semua “Terorisme”

Pesan Tulus Nan Sederhana Pada Ustadz Abu Bakar Baasyir

Diduga Noordin M. Top Atau Gories Mere Yang Kebelet Ingin Ngetop ?

Buyung Nasution : Main Tembak Mati Teroris, POLRI Tak Sesuai Hukum

Jakarta 7/6/2010 (KATAKAMI) Awal bulan Juni ini, media massa serentak memberitakan tentang rencana likuidasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri. Awalnya, istilah yang digunakan adalah pembubaran. Tetapi kemudian dipakai istilah likuidasi.
Densus, di masa yang akan datang tidak akan lagi ada ditemukan di struktur kepolisian daerah (Polda). Mereka akan ditarik ke Mabes Polri dan bertransformasi menjadi sebuah korps laiknya brigadir mobile (Brimob).

“Di wilayah nanti hanya ada CRT (crisis respond team), sebagai pemukul yang sudah dididik di Amerika. Nantinya (CRT) ada dibawah Dan Sat Brimobda (Komandan Satuan brigadir mobile daerah),” kata Kapolri Jenderal pol Bambang Hendarso Danuri, di Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jakarta, Kamis (3/6/2010).

Densus akan dipimpin oleh jenderal bintang dua, bukan lagi jenderal bintang satu seperti yang sekarang ini.

Detasemen itu hanya akan mengurusi pengambilan kebijakan di pusat.

Namun, mereka akan flexibel jika suatu waktu diperlukan tenaganya.

http://katakamidotcom.files.wordpress.com/2010/03/sby.jpg

Foto kiri ke kanan : Menkopolhukkam Djoko Suyanto, Presiden SBY, Kapolri BHD & Panglima TNI Djoko Santoso


Baiklah, mari kita dalami satu persatu seputar rencana likuidasi Densus 88 Anti Teror Polri ini.

Sebenarnya patut dapat diduga maksud dan tujuan Polri bukan melikuidasi Densus 88 Anti Teror Polri.

Tetapi sekedar “ganti baju” alias sebatas mengganti nama saja yaitu dari nama Densus 88 Anti Teror menjadi Crisis Respond Team (CRT).

Tidak ada bedanya Densus 88 Anti Teror Polri dengan CRT.

Sumber Daya Manusia (SDM) -nya sama

Peralatannya sama.

Tugasnya sama

Dan yang menjadi “arsitek” kelahirannya juga sama yaitu AMERIKA SERIKAT.

“Pasukan” CRT akan disiapkan dan dididik di Amerika Serikat.

Dimana letak perbedaannya ?

Tidak ada !

Seperti yang kita ketahui bersama, nama Densus 88 adalah singkatan dari DETASEMEN KHUSUS 88.

Istilah Detasemen berasal dari bahasa Perancis yakni détachement.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, detasemen merupakan satuan yang berada di suatu tempat untuk menjalankan tugas yang bersifat sementara.


Detasemen merupakan satuan atau unit dalam militer atau polisi yang dilepaskan dari unit yang lebih besar untuk fungsi tertentu atau tugas tertentu baik secara permanen maupun sementara. Detasemen dalam militer biasanya merupakan unit yang lebih kecil dari batalion.

https://i0.wp.com/i284.photobucket.com/albums/ll30/jalakpengkor/cqb1.jpg

Foto : Sat Gultor (Den 81) Kopassus


Istilah ini juga sering digunakan untuk merujuk pada unit yang dapat ditugaskan ke basis yang berbeda dari unit induk.
Ada beberapa pengertian detasemen yang digunakan dalam TNI, yakni:

Satuan tetap yang berkekuatan kurang lebih sebesar Peleton hingga Kompi yang dibentuk untuk tugas-tugas tertentu. Contoh: Detasemen Intel (Denintel) Kostrad, Detasemen Jala Mengkara, Detasemen 88, Detasemen Polisi Militer. Untuk kategori ini komandannya, perwira berpangkat Mayor atau Letkol.

Satuan tetap yang berkekuatan lebih kecil dari batalyon dan merupakan satuan kecabangan tertentu. Contoh: Detasemen Kavaleri, Detasemen Rudal, Detasemen Zeni. Untuk kategori ini komandannya, perwira berpangkat Kapten atau Mayor.

Satuan yang bertugas untuk organisasi kemarkasan tingkat Komando Utama ke atas,yang memiliki tugas pokok menyelenggarakan pelayanan markas yang meliputi perawatan, pemeliharaan, urusan dalam, protokoler dan pengamanan markas. Contoh: Detasemen Markas (Denma) Markas Besar Angkatan Darat, Denma Mabes TNI, dan Denma Makodam. Komandannya biasanya berpangkat Kolonel (untuk Mabes), atau Letkol (untuk Makodam).

Foto : Logo Densus 88 Anti Teror Polri


Jadi bayangkanlah, jika POLRI menempatkan Jenderal berbintang 2 untuk menduduki jabatan KEPALA DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR.

Betapa tingginya dan sangat berlebihan menempatkan seorang Jenderal berbintang 2 menjadi kepal DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR, sementara di jajaran TNI skup kecil setingkat Detasemen hanya dipimpin oleh sebatas perwira menengah.

Tiga sampai empat tingkat lebih tinggi tingkatan kepangkatan di Polri dibandingkan TNI (dan barangkali di negara-negara lain juga demikian).

Menempatkan seorang Jenderal berbintang 2 menjadi Kepala DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR adalah seperti lucu-lucuan atau ibaratnya pelajaran mengarang bebas yang pantas untuk dikecam sekeras-kerasnya.

Kepala Densus mau dibuat menjadi job bagi Jenderal berbintang 2.

Lalu Densus dipisahkan dari Bareskrim.

Kemudian, pasukannya di daerah TIDAK ADA LAGI sebab di seluruh Polda sudah tidak ada anggota Densus.

Sehingga tugas si Kepala Densus (versi baru) tadi hanya sebatas pengambil kebijakan.

Pertanyaannya adalah kebijakan atas apa ?

Kebijakan atas penanganan terorisme di Indonesia ?

Oke, kalau tugasnya sebatas pengambil kebijakan maka secara hierarki siapa yang harus menjalankan kebijakan itu dengan menggunakan sistem komando ?

Tidak ada sebab Kepala Densus tidak punya pasukan.

Penanganan terorisme di Indonesia tidak bisa hanya diserahkan penggodokan kebijakan-kebijakannya kepada satu orang manusia saja yang bernama KEPALA DENSUS.

Tidak bisa !

Penanganan terorisme harus secara melembaga dan menjalin koordinasi yang sangat amat kuat dengan lembaga atau instasi lain semacam TNI dan BADAN INTELIJEN NEGARA (BIN).

Kemudian menjalin kerjasama dengan negara-negara sahabat untuk bersama-sama memerangi terorisme global.

Foto : Sat Gultor ( Den 81) Kopassus


Densus 88 Anti Teror ini sama kedudukannya dengan Detasemen atau Den 81 Anti Teror Kopassus.

Saat ini Den 81 berganti nama menjadi Satuan Penanggulangan Teror atau Sal Gultor Kopassus.

Sat Gultor Kopassus adalah sub bagian yang ada dibawah organisasi Pasukan Elite Kopassus.

Sat Gultor tidak berdiri sendiri melainkan anak organisasi dari KOPASSUS secara keseluruhan.

Satuan 81/Penanggulangan Teror atau disingkat Sat-81 Gultor adalah satuan dalam  Kopassus yang komposisinya setingkat dengan Grup.

Satuan ini dibentuk oleh Kabais ABRI  dan diresmikan pada 30 Juni 1982 dengan nama  Detasemen 81 (Den-81) Kopassandha. Satuan ini dibentuk setelah terjadinya pembajakan pesawat Garuda oleh teroris yang berasal dari Indonesia dan  berhasil dilumpuhkan oleh pasukan Komando TNI AD di Don Muang.

Dari perkembangan namanya kemudian dirubah menjadi Satuan 81 Penanggulangan Teror (Sat-81 Gultor).

Pada periode 1995­ – 2001, Den-81 sempat dimekarkan jadi Group 5 Antiteror.

Foto : Presiden SBY menerima Brevet Komando Kehormatan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Markas Komando Kopassus, Cijantung, Jakarta dari KSAD Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo (20/8/2009)

Satuan ini dilengkapi dengan berbagai macam senjata khusus seperti Minimi 5,56mm, MP5 9mm, Uzi 9mm, Beretta 9mm, Galil, Colt M16A1/A4, SIG-Sauer 9mm, SPR dan beberapa jenis lagi  sniper khusus. Selain keahlian penggunaan senjata, satuan juga dilengkapi dengan kemampuan perang biologi dan kimia, penanggulangan bahan peledak, bajak udara.

Kopassus sendiri dipimpin oleh Mayor Jenderal dengan nama jabatan Komandan Jenderal atau DAN JEN.

Bayangkanlah, pangkat dari Danjen Kopassus ini mau dibuat sama dan setara dengan KEPALA DENSUS 88 ANTI TEROR POLRI.

Padahal selama ini Jenderal berbintang 2 itu dipegang oleh para Kepala Kepolisian Daerah atau Kapolda yang masing-masing memimpin dan memegang satu wilayah di berbagai daerah di Indonesia.

Luar biasa hebatnya kalau seorang Kepala Densus mau dibuat menjadi job bagi Jenderal bintang 2.

Selama ini, Kepala Densus 88 Anti Teror diberikan kepada Jenderal berbintang 1 — dengan catatan, ia mempunyai pasukan dan membawahi anggota Densus yang tersebar di berbagai Polda yang ada di Indonesia.

Terlalu berlebihan angan-angan dari Kapolri BHD yang mau menempatkan Jenderal berbintang 2 memimpin Densus 88 versi baru yang samasekali tak punya pasukan lagi.

http://katakamidotcom.files.wordpress.com/2010/03/neta-s-pane1.jpg

Foto : Neta S. Pane


Kepada KATAKAMI.COM lewat wawancara pada hari Senin 7/6/2010 di Jakarta, NETA S. PANE selaku Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) mengecam dengan keras rencana Kapolri Bambang Hendarso Danuri yang mau menempatkan Jenderal berbintang 2 memimpin Densus 88 Anti Teror.

“BHD ini semaunya sendiri saja merancang struktur organisasi Polri yang baru. Densus akan dipimpin Jenderal berbintang 2, lho untuk apa ? Pekerjaan Densus itu tidak setiap hari. Mereka hanya akan diturunkan kalau ada kasus terorisme. Densus memang harus ada di berbagai Polda agar ketika di daerah terjadi kasus terorisme maka anggota Densus dari Polda terdekat yang akan diterjunkan. Kalau sekarang Densus dibuat tidak punya pasukan di daerah, terlalu berlebihan dan terlalu besar jika posisi Kepala Densus diberikan kepada Jenderal berbintang 2” kata Neta S. Pane.

Menurut Neta S. Pane, draft perubahan struktur organisasi Polri yang baru harus ditolak dan jangan sampai disetujui oleh Presiden SBY.

“Kami mendapat copy dari draft susunan organisasi baru Polri yang dirancang BHD itu. Nanti akan ada 8 job untuk Jenderal berbintang 3 dan sedang dipertimbangkan untuk menempatkan Jenderal berbintang 3 juga untuk menjadi Staf Ahli. Selama ini Staf Ahli hanya untuk Jenderal berbintang 2. Kalau Staf Ahli untuk Jenderal berbintang 3 juga maka akan ada 9 kursi untuk Jenderal berbintang 3. Ini hanya akan memboroskan anggaran kepolisian jika terlalu banyak JENDERAL yang mau dibuat di Polri. Selama ini 60 persen anggaran Polri itu tersedot untuk operasional. Jika struktur baru yang akan menghasilkan sekitar 240 JENDERAL di tubuh Polri, maka nantinya anggaran Polri akan tersedot sebagai 80 %. Besar sekali pemborosannya !” lanjut Neta S. Pane.

Neta S. Pane juga mengkritik kebiasaan Polri meminta bantuan secara langsung dari AMERIKA SERIKAT.

“Ini tidak boleh dibiarkan oleh Pemerintah dan DPR. Polri tidak boleh seenaknya mengajukan proposal bantuan dalam bentuk apapun secara langsung kepada PEMERINTAH AMERIKA dan seluruh perangkatnya. Apalagi Densus 88 atau CRT yang sedang dipersiapkan itu. Kalau CRT juga atas didikan Amerika bahwa bisa-bisa CRT itu akan menjadi LASKAR AMERIKA yang tersusupkan di Indonesia. Harus ada kontrol yang kuat dari semua pihak bagi Polri jika hendak mendapatkan bantuan dari negara lain. Bahkan kalau perlu, tidak boleh lagi mengajukan secara langsung proposal bantuan apapun kepada AMERIKA. DPR harus mengawasi masalah ini. Apa-apaan itu, kalau cuma Polri saja yang mau menikmati semua bentuk bantuan dan pelatihan dari AMERIKA ?” ungkap Neta S. Pane.

https://i0.wp.com/1.1.1.4/bmi/cache.daylife.com/imageserve/08TacTTbxf0tS/610x.jpg

Foto : President Barack Obama

Sebenarnya dalam hal ini, Pemerintah Amerika tidak bersalah dan tidak bisa disalahkan dalam pemberian bantuan pelatihan bagi anggota Tim Anti Teror Polri.

Sebagai negara sahabat yang komit pada upaya pemberantasan terorisme secara global, sah-sah saja Pemerintah Amerika memberikan bantuan dan pelatihan dalam penanganan terorisme.

Tetapi pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama, pemberian bantuan dan pelatihan di bidang penanganan terorisme itu tidak bisa lagi diberikan secara langsung kepada sub organisasi semacam Densus 88 atau CRT.

Kerjasama itu haruslah disepakati G to G atau Government to Government.

Kerjasama Pemerintah dan Pemerintah ini, mengharuskan setiap permohonan atau pemberian bantuan dari negara lain kepada Densus atau CRT, harusnya dalam koridor yang datang atau keluar dari satu atap atau ONE GATE SYSTEM.

Hal ini dimaksud agar ada pengawasan dan pengendalian.

Dan diatas semua itu, agar ada pertanggung-jawaban yang jelas untuk menghindari penyalah-gunaan oleh oknum yang bisa mementingkan kepentingan diri atau kelompoknya saja di dalam tubuh Polri.

Foto : Presiden Barack Obama

Presiden Barack Obama harus bersikap bijak dalam menyeleksi bantuan yang hendak diberikan pihaknya kepada pihak manapun di Indonesia.

Begitu banyak kritik dan kecaman yang datang kepada Densus 88 Anti Teror Polri selama ini, salah satunya kebiasaan menembak mati para buronan yang mereka anggap terlibat dalam kasus terorisme.

Sedikit-sedikit main tembak mati.

Seakan-akan hukum tidak berlaku di Indonesia.

Bantuan dan berbagai pelatihan yang diberikan Amerika Serikat sejak Densus 88 Anti Teror didirikan tahun 2003, patut dapat diduga juga didominasi dan dikuasai alias dinikmati secara eksklusif oleh kelompok yang itu-itu saja dalam Tim Anti Teror Polri (periode 2003-2008).

Hal ini tidak boleh lagi terjadi pada saat ini dan di masa yang akan datang.

Densus 88 Anti Teror Polri harus dibenahi secara menyeluruh jika memang hendak dipertahankan.

Tidak usah berpura-pura ganti nama

Tidak usah menempatkan Jenderal berbintang 2 untuk jabatan Kepala Densus 88 Anti Teror karena itu sangat amat berlebihan.

Tanganilah terorisme sesuai ketentuan, aturan dan UU yang berlaku di negara ini.

Ingatlah selalu bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Dan lagi-lagi perlu diberitahukan bahwa HUKUM harus menjadi Panglima di negaranya masing-masing.

Tangkap dan bawa setiap orang yang diduga terlibat kasus terorisme agar mereka dapat diproses secara hukum.

Pembuktian bersalah atau tidaknya seseorang dalam tindak pidana terorisme adalah merupakan wewenang dari Majelis Hakim.

Jadi, biarkan hakim yang memutuskan.

(MS)